PEMIKIRAN REFLEKTIF DALAM RANGKA UNTUK MENUJU KEPADA MANUSIA SEUTUHNYA

PENDAHULUAN
ABSTRAK
Segala sesuatu yang diciptakan Allah bukanlah dengan percuma saja, tetapi dengan maksud-maksud tertentu yang diinginkan Allah. Diantara seluruh makhuk ciptaan Allah terdapat makhuk pilihan-Nya yaitu makhuk manusia. Berbicara tentang manusia : hidup, arti dan peranan eksistensinya masalah ini masih tetap actual, selain manusia itu sendiri yang selalu menjadi pokok permasalahan. Selain itu dapat juga dilihat apapun yang terjadi di dunia ini , masalah apapun yang harus dipecahkan di bumi ini pada intinya dan pada akhirnya berhubungan dengan manusia.
Filsafat sebagai suatu ilmu pengetahuan yang bersifat eksistensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari, bahkan justru filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari, baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia social dalam masyarakat.
Melalui pemikiran filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif dan penelitian penalaran supaya kita dapat menyerasikan antara logika, rasa, rasio, pengalaman dan agama dalam usaha manusia untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya dalam usaha yang lebih lanjut yaitu untuk mancapai hidup sejahtera.

ABSTRACT
God created something in the world with certain purposes. Among other creatures is a human. Talking about human : Their life , meaning and leading of this problem existence is still actual, because the humans become the main problem. In their view, everything happened in the world has to be overcome. The principle is that it is always related to the humans.
Philosophy as an existence knowledge has closest correlation to our life. It means that a philosophy can be a movement either an individual or social human in the society.
By philosophy idea, it gives a way using reflective method and logical research. It is aimed in order to adapt between a logic, sense (feeling), ratio, experience and religion. So, it is an effort to reach their needs. In the long effort is to become prosperous life.






PENDAHULUAN

Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak sesuatu yang lebih ajaib daripada manusia. Pengetahuan manusia sudah meningkat mencapai ketinggian yang belum pernah dimimpikan. Pengetahuan itu menyangkut alam semesta, dan yang paling penting yaitu adalah menyangkut manusia. Banyak hal yang sudah diketahui tentang susunan dan berfungsinya tubuh manusia, penelitian tentang tingkah laku manusia sebagia perorangan maupun dalam masyrakat, dalam bidang pendidikan banyak dipergunakan pengetahuan tentang perkembangan kepribadian manusia. Meskipun dalam dunia ilmu pengetahuan mencapai beraneka ragam hasil, namun tidak sanggup untuk dapat membuka semua rahasia tentang manusia. Sejak dahulu kala hingga sekarang manusia adalah makhuk yang paling penuh dengan misteri. Di mana terdapat suami yang berani mengatakan bahwa ia mengerti istrinya seratus persen ? Di mana terdapat ibu yang berani mengatakan bahwa ia mengerti anaknya sampai dalam lubuk hatinya bahkan sampai padahal yang paling tersembunyi sekalipun ? Betapapun akrab dalam pergaulan, orang lain tetap merupakan teka-teki. Kita tidak mungkin dapat mengetahui semua rahasia yang ada pada manusia. Bahkan kita tidak mungkin dapat mengetahui watak dan kepribadian sesorang sepenuhnya. Selain orang lain, diri kita sendiri juga merupakan misteri untuk diri kita. Filsafat manusia mencoba untuk menjalankan refleksi tentang misteri manusia, dan mencoba untuk mengetahui siapakah manusia itu ?

PEMBAHASAN
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan perumusannya sangat sulit untuk dapat dilaksanakan, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seseorang sebagai filsuf yang otentik. Setiap orang yang ingin mengejar pengertian hidup dan kehidupan itu, maka itu berarti bahwa ia masih di atas jalan menjadi seorang filsuf untuk lebih memanusiakan dirinya, sebab berfilsafat tiada lain adalah hidup berpikir dan pemikiran sedalam-dalamnya tentang hidup dan kehidupan itu.
Pada hakekatnya kelahiran cara berpikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan. Karena sebelumnya manusia lebih banyak berpikir menurut alasan-alasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional. Dengan lahirnya revolusi ilmiah itu manusia mulai sadar bawa dunia ini dengan segala fenomena-fenomena hidup dan kehidupan didalamnya merupakan kenyataan-kenyataan obyektif yang dapat diamati dan dipahami secara rasional dan sistematis. Seorang filsuf dari aliran Eksistensialisme yaitu Martin Heidegger menyatakan bahwa manusia adalah ” Lein Wesen Der Moglichkeit ” yang artinya bahwa manusia itu adalah makhuk yang penuh dengan bermacam-macam kemungkinan dan berbagai macam bakat. Salah satu kemungkinan itu ialah bahwa manusia itu adalah makhuk yang berfilsafat. (Burhanuddin Salam, 1988 : 2). Manusia menurut kodratnya adalah makhuk yang berfilsafat . Dengan berilmu filsafat manusia ingin mencari hakekat kebenaran daripada sesuatu. Dalam mencari pengetahuan dan kebenaran itu manusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ” causa prima ” daripada segala yang ada yaitu Allah Maha pencipta, Maha Besar, dan Maha Mengetahui.
Kodrat atau fitrah manusia itu adalah jasmani - rohani. Dengan kodratnya yang jasmani – rohani itu menyebabkan timbulnya dorongan akan berfilsafat, artinya akan berpikir dan mengerti sedalam-dalamnya. Dengan fitrah manusia yang jasmani itu manusia dapat melaksanakan pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat fisik atau jasmaniah. Sedangkan fitrah manusia yang rohaniah menyebabkan manusia dapat mengadakan abstraksi dapat mengerti dan memahami (insight) tentang segala sesuatu yang ada yang mungkin ada. Bahkan sampai pada ” causa prima ” daripada segala yang ada di dunia ini yaitu Allah. Dalam ajaran agama islam eksistensi fitrah manusia yang rohaniah ini mempunyai unsur tanggung jawab untuk melaksanakan ibadah kepada Allah, dalam bentuk melaksanakan sholat dan juga membayar zakat.
Filsafat sebagai rangkaian aktifitas dari budi manusia pada dasarnya adalah pemikiran reflektif. Pemikiran ini senantiasa bersifat memantul dalam arti melihat pada diri sendiri untuk memahami bekerjanya budi manusia tersebut. Budi manusia yang diarahkan untuk menelaah fenomena-fenomena tertentu sehingga melahirkan sesuatu ilmu khusus, sehingga berpikir ilmu khusus akan menumbuhkan filsafat mengenai sesuatu ilmu. (The Liang Gie, 2004 : 75). Filsafat adalah suatu ilmu khusus yang merupakan salah satu cabang dalam ruang lingkup filsafat ilmu – seumumnya.
Filsafat sabagai suatu proses pemikiran reflektif dari akal budi manusia mempunyai 6 macam aktifitas, yaitu :Analisa yang mengarah pada kejelasan ; Komprehensi yang mengarah pada kecerdasan ; Deskripsi yang mengarah pada keterangan ; Evaluasi yang mengarah pada pembenaran ; Interpretasi yang mengarah pada pengertian sejati dan Spekulasi yang mengarah pada penyatupaduan. (Moh. Hasyim CH, 1998 : 6). Keenam kegiatan aktifitas pikir ini bukanlah sesuatu yang masing-masing dapat berdiri sendiri, melainkan satu sama lain saling terkait, karena semuanya merupakan kemampuan perwujudan dari akal budi manusia yang tunggal. Dengan demikian filsafat dapat dipahami sebagai suatu sistem.
Sejak berabad-abad manusia telah berusaha untuk dapat memecahkan masalah-masalah pokok tentang arti dan peranan eksistensinya, dan sebagai jawabanya tercetus berbagai pendapat yang bukan saja saling mengisi serta saling melengkapi, melainkan juga saling bertentangan. Dengan adanya kenyataan tersebut maka orang masih belum puas dan mereka terus berusaha untuk mengungkap kebenaran-kebenaran tentang manusia lebih jauh sampai sekarang.. Memang perlu diakui bahwa manusia bukanlah ” probleme ” yang akan habis untuk dapat dipecahkan , demikian dikatakan oleh Gabriel Marcel, melainkan ” mystere ” yang tidak mungkin disebutkan sifat dan cirinya secara tuntas tetapi harus dipahami dan dihayati. (Soerjanto Poespowardojo, 1983 : 1). Disebutkan pula oleh para ahli pikir dan ulama besar dari tokoh Alam Islamy An Nadawiy secara filosofis mengemukakan bahwa manusia itu adalah makhuk yang sulit dan penuh paradox atau kontradiksi, pertentangan dalam dirinya sendiri. Keperluan dan keinginannya banyak, lebih banyak dari nafasnya, lebih lama dari hidupnya dan lebih luas dari alam ini. (Burhanuddin Salam, 2003 : 161). Dalam hubungan kesadaran manusia tentang eksistensinya, ada tiga macam eksistensi manusia yaitu :
  1. Eksistensi kultural : kesadaran manusia bahwa untuk tetap lestari dalam
hidup dan kehidupan ini manusia haruslah menguasai dan menakhukkan alam ini. Kesadaran inilah yang merupakan landasan pokok terciptanya kebudayaan manusia.
  1. Eksistensi sosial : kesadaran manusia bahwa dalam hidup dan kehidupannya didunia ini manusia itu serba berhubungan dengan manusia lain. Manusia sering tergantung dengan sesama manusia lainya.
  2. Eksistensi religius : Kesadaran manusia tentang keterhubungannya sebagai makhuk dengan penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran inilah sebagai sumber adanya agama.
Manusia itu terdiri dari roh dan jasad, sedangkan roh selalu menariknya untuk kembali kepada asal dan sumbernya (Allah), sedangkan jasad menariknya kepada asalnya yaitu tanah. Bila pengaruh roh menjadi lemah maka menjadi lepas lalai manusia dalam kelezatan syahwati, bagaikan hewan liar sehingga menyebabkan padamlah sinar roh dan hati, lalu muncullah kezaliman dan berbagai kejahatan. Manusia menjadi hewan lair yang berbahaya, menerkam sesamanya. Manusia menjadi ”homo homini lupus”.
Setiap manusia mempunyai pandangan hidup, demikian juga manusia mempunyai pandangan tentang manusia. Dengan demikian dapat kita ikuti di sepanjang sejarah, bahwa terdapat berbagai pandangan tentang manusia, baik sebagai hasil pemikiran reflektif maupun prareflektif. Secara Empiristis masing-masing pemikir mengistilahkan manusia pada kenyataan faktis semata-mata sesuai dengan sudut pandang yang dipakainya. Freud menganggap manusia sebagai naluri seksual, Marx menghargainya sebagai naluri ekonomis sedangkan Nietzsche menganggap manusia sebagai kehendak untuk menuju kepada kekuasaan belaka. (Soerjanto Poespowardojo, 1983 : 1). Memang tidak dapat disangkal bahwa dalam sejarah filsafat, terdapat banyak sekali perbedaan faham mengenai manusia atau berbagai teori yang memotong masalah tersebut, namun demikian masih terdapat suatu orientasi umum atau rangka bersama yang mampu untuk mengkaitkan setiap faham yang berbeda, baik itu filsafat, teologi, biologi maupun fisika menerima gagasan umum yang hakiki tentang manusia sebagai latar belakang atau landasan pokoknya.
Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengungkapkan kembali orientasi manusia yang bersifat pokok, yang seharusnya menjadi titik tolak bagi penjabaran serta penyelidikan lebih lanjut berdasarkan pendekatan masing-masing disiplin ilmu dan mampu mengkaitkan hasil-hasil penemuan disiplin-disiplin tersebut dalam konsepsi sentral mengenai manusia. Secara khusus karya ilmiah ini akan menyoroti masalah manusia : bagaimana dan manakah faktor-faktor dasar yang harus selalu diperhatikan, agar kita memiliki gambaran yang tepat dan sebaik mungkin tentang manusia.
Dengan istilah ”seutuhnya” dimaksudkan bahwa pembahasan ini adalah untuk melihat manusia sebagai suatu keseluruhan satu totalitas dan oleh karena itu masalahnya bukan hanya sekedar melihat unsur atau bahan material yang berbentuk badan manusia, melainkan mengungkapkan keseluruhan hidup,arti dan makna eksistensinya sebagai seorang pribadi. Manusia adalah makhuk badani, dia harus menjalankan hidup di dunia ini. Dia harus bersikap, bertindak, bergerak dan bekerja (mengolah dunianya). (N. Drijarkara, 1984 : 19). Untuk menemukan pengertian manusia seutuhnya perlu adanya kita harus mengetahui adanya ciri serta sifat-sifat yang termasuk dalam struktur manusia, hal ini tidak cukup hanya dengan melihat fakta atau fenomena manusia tetapi kita harus membandingkan serta menyusun fakta-fakta itu sebagai kesatuan pengertian dan harus melihat sampai pada inti hakekatnya. Jadi bukan ingin mengetahui bagaimana manusia itu terjadi tetapi apakah dan siapakah manusia itu sebenarnya. Konteks dasar yang akan diungkapkan untuk mengetahui siapakah manusia itu, ada dua hal yaitu tentang kehidupan riil manusia dan tentang kebudayaan hubungannya dengan eksistensi manusia pada umumnya.
I. Manusia dalam kehidupan riil
Masalah yang akan kita hadapi dalam kehidupan manusia yang riil adalah bagaimana kita dapat menemukan wajah yang sebenarnya dan seutuhnya tentang manusia. Oleh karena itu titik tolak yang harus diambil bukanlah hasil suatu interpretasi seseorang tentang manusia, tetapi manusia dalam kewajaran serta keaslian hidupnya. Jadi manusia yang ditempatkan pada kontek yang riil. Pemahaman yang demikian itulah dimaksudkan oleh pelopor eksistensialisme, Soren kierkegaard dalam karyanya Either/Or, dimana tercetus pandangan bahwa baginya manusia wajar adalah manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. (Soerjanto Poespowardojo, 1983 : 3). Sehingga manusia yang seperti itu harus disaksikan dan dihayati : semakin dalam penghayatan kita perihal manusia, maka semakin bermaknalah kehidupannya. Demikian pula dalam kehidupan yang riil ini akan terungkap kenyataan manusia individual yang tidak dapat dipukul rata begitu saja dalam rumus-rumus umum, ataupun kenyataan manusia subyektif yang memiliki harkat dan martabatnya yang tinggi dan oleh karena itu menunjukkan dan mempertahankan otentisitas pribadinya.
Manusia sebagai makhuk alamiah merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang alamiah pula. Manusia tercermin bukan saja dari kehidupan sosialnya saja, melainkan juga dalam tingkah laku etisnya. Keterikatan kosmologis atau kesatuan ekologis ini menunjukkan bahwa manusia serba dalam situasi artinya untuk memahami manusia haruslah kita menempatkannya dalam konteks yang riil dan kongkret. Sebagai makhuk alamiah, maka manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia membutuhkan makanan dan minuman agar badannya tetap segar dan sehat, ia membutuhkan hiburan agar hidupnya menarik dan tidak membosankan. Ia perlu belajar dan sebagainya. Dengan demikian manusia adalah butuh fisik dan rohani. Kebutuhan menunjukkan bahwa manusia adalah makhuk yang belum selesai artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus bekerja dan berkarya. Jelaslah disini bahwa kerja atau karya mempunyai arti yang manusiawi. Kerja bukan tanda kerendahan seseorang ataupun alat untuk sekedar mengisi waktu, melainkan proses penyempurnaan manusia itu sendiri. Dalam kerjalah tercermin mutu serta martabat manusia. Pengertian ini seharusnya menjadi titik tolak untuk menghargai dan mengukur tenaga kerja dalam dunia perburuhan.
Kierkegaard menyatakan bahwa hidup manusia mempunyai tiga taraf, yaitu estetis, etis dan religius. (Soerjanto Poespowardojo, 1983 : 5). Kehidupan estetis manusia mampu menangkap dunia sekitarnya sebagai dunia yang mengagumkan dan mengungkapkannya kembali dalam lukisan yang indah, tarian yang mempesona. Dengan kehidupan etis manusia meningkatkan kehidupan estetis itu kedalam tingkatan manusiawi dalam bentuk-bentuk kepuasan yang bebas dan dipertanggungjawabkan. Dengan demikian hidup manusia mendapatkan kualifikasi yang langgeng. Dengan kehidupan religius manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan dalam dialog yang sejati. Kepercayaan terhadap Tuhan merupakan suatu tindakan transendental, dimana manusia menyadari dirinya sebagai pribadi yang integral. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin dekat ia menuju kesempurnaan dan berarti semakin jauh ia dilepaskan dari rasa kekhawatiran. Namun dalam kenyataan sering terjadi bahwa manusia tidak selalu berhasil mempertahankan kedudukannya yang sentral tersebut. Dalam tingkah lakunya manusia menyamaratakan dirinya sederajat dengan benda-benda disekitarnya, sehingga akhirnya manusia kehilangan martabat kepribadiannya. Hal ini dapat terjadi antara lain karena sikapnya yang begitu naif terhadap dirinya dan dunianya. Manusia dipesonakan oleh alam beserta kekuatannya sehingga manusia merasa kecil terhadap alam. Manusia tersangkut dalam asumsi-asumsi yang dianggapnya benar dengan sendirinya dan berlandaskan asumsi-asumsi tersebut membuat penilaian dan menentukan sikap dalam kehidupan masyarakat.

II. Manusia dan Kebudayaan
Sebagai langkah selanjutnya untuk memahami manusia sebaik mungkin, maka sewajarnyalah kita menempatkan manusia dalam konteks kebudayaan. Hal ini nampak jelas oleh karena kebudayaan merupakan lingkungan dimana manusia harus tetap hidup. Dalam kebudayaanlah tercermin segala kenyataan yang bernilai dan berharga. Begitu erat hubungan manusia dengan kebudayaannya, sehingga manusia pada hakekatnya disebut makhuk budaya. Demikian yang telah diucapkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Dalam kebudayaan kita bertemu dengan berbagai fenomena kehidupan yang sudah diolah dan diatur menurut cara tertentu. Manusia tidak lagi hidup tersebar di hutan belantara yang buas melainkan manusia sudah hidup di kota atau
di perkampungan yang telah dilengkapi dengan perumahan, penerangan dan pengairan yang baik. Kalau ia hendak berbelanja tinggal berangkat ke pasar atau ke swalayan, kalau ia ingin hiburan tinggal menonton musik di telivisi atau mendengarkan musik di radio. Hal itu semua menunjukkan bahwa manusia selalu hidup dalam alam yang serba budaya. Dalam kebudayaan manusia dibentuk dan dibesarkan. Hal ini merupakan ciri khas manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan adalah kancah, dimana setiap orang dapat berjuang dengan mempergunakan segala kemampuannya dan demikian memperoleh kemajuan serta peningkatan mutu dalam hidupnya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menjumpai beraneka ragam kebudayaan. Kita mengenal kebudayaan dalam bentuk warisan kekayaan yang telah dicapai oleh manusia, dirangkum serta diteruskan dari generasi kepada generasi selanjutnya. Ada juga yang terwujud dalam proses perkembangan, disini kebudayaan bukan saja barang simpanan yang statis belaka, tetapi tercermin pula dalam pertumbuhan serta peningkatan yang terjadi dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Dalam hal ini jelaslah bahwa akulturasi serta pembaharuan dalam bidang kebudayaan adalah gejala-gejala yang berulang kali terjadi dan perlu terjadi dalam kehidupan manusia, dan akhirnya ada pula yang terwujud dalam bentuk nilai serta tingkah laku. Manusia bekerja mencari nafkah ntuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia belajar menuntut ilmu dan menari untuk mengungkapkan kegembiraannya. Bekerja, belajar dan menari adalah tingkah laku manusia yang mempunyai arti kultural. Ketiga bentuk tingkah laku tersebut merupakan unsur yang hakiki dalam kebudayaan, dan oleh karena itu berkaiatan erat satu sama lain dan saling mempengaruhi.
Proses kebudayaan ini dapat dengan jelas kita ikuti, apabila kita ingat bahwa kehidupan manusia selalu dihadapkan pada masyarakat, lingkungan serta dunia alamnya. Manusia adalah makhuk yang serba butuh, sedangkan lingkungan serta alamnya mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan itu. Namun dunia tidak dapat dimanfaatkan begitu saja, karena masih nampak mentah. Oleh karena itu perlu diolah dan dikerjakan sehingga secara benar-benar dapat dimanfaatkan oleh manusia guna memenuhi kebutuhan serta keinginannya. Dengan demikian timbulah kerja atau karya yang merupakan mediasi antara manusia dan dunianya. Tanpa pengolahan hidup manusia akan menjadi liar. Tetapi justru sebaliknya berkat pengolahan serta kerja ini hidup manusia yang potensial itu benar-benar mendapat arti dan maknanya.
Berbicara tentang kebudayaan bararti mengeksplisitkan mediasi antara manusia dengan alamnya, yaitu pengolahan dunia yang mentah itu menjadi bernilai dan bermanfaat bagi kepentingan manusia. Di satu pihak manusia adalah makhuk serba butuh, sedangkan dilain pihak alam merupakan bahan mentah yang mampu memenuhi serta memuaskan segala kebutuhan manusia. Dengan demikian jelaslah bahwa diantara keduanya timbul relasi dialektis yang terwujud dalam karya atau kerja yang sangat besar peranannya dalam rangka kebudayaan pada khususnya dan dalam kehidupan manusia pada umumnya.
Dengan melihat pada sejarah maka kebudayaan menunjukkan fungsi sosialnya, sejauh kebudayaan merupakan usaha manusia mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu usaha-usaha budaya disatu pihak bersifat membebaskan manusia dari setiap bentuk aliansi suatu emansipasi yang bertujuan membebaskan manusia dari keterbelakangan, kemelaratan serta ketidakadilan dan di lain pihak mengisi arti kebebasan manusia dengan meningkatkan taraf dan mutu kehidupan manusia.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa kebudayaan menentukan kehidupan manusia. Kebudayaan mempunyai peranan yang fundamental dalam kehidupan manusia. Penyataan bahwa manusia adalah makhuk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan dimensi dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana persepsi manusia terhadap dunia lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menetukan sikap terhadap dunia luarnya dan bahkan untuk memotivasi setiap langkah yang hendak dan harus dilakukannya. Dengan demikian kebudayaan menunjukkan identitas serta integritas seseorang atau suatu bangsa. Dalam kebudayaanlah tertuang segala kekayaan serta mutu hidup suatu bangsa.








KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa manusia sekarang semakin bertambah mengerti, apa yang ada dalam kehidupannya baik sebagai perorangan maupun sebagai masyarakat merupakan sarana untuk bergerak lebih maju. Gerak dan langkah manusia yang terus berkesimanbungan dengan tujuan pembaharuan itulah salah satu corak yang fundamental dari cara manusia berada dan cara manusia bereksistensi. Manusia sebagai makhuk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan manusia kepada kebahagian abadi dan keyakianan akan keberadaan sang pencipta seluruh alam beserta isisnya. Ilmu pengetahuan mengantarkan pada kebenaran-kebenaran yang faktual yaitu mengadakan suatu riset, pengalaman dan melakukan suatu percobaan untuk dapat membuktikan kebenaran tersebut. Seseorang yang bijaksana akan memiliki kemungkinan yang paling tepat dalam usahanya untuk mencapai kesejateran hidup, karena manusai mempunyai wawasan yang tepat dan mendalam. Dia berusaha mengerti apa artinya hidup dan dirinya dengan segala masalah yang muncul dan yang harus dihadapinya.





DAFTAR PUSTAKA

Drijarkara, S.J.N. 1984. Filsafat Manusia. Yogyakarta : Yayasan Kanisius.
Gie, T. L. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta
Hasyim, M.C.H. 1998. Filsafat Umum. Surakarta : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Poespowardojo, S. 1983. Sekitar Manusia. Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia. Jakarta : PT Gramedia
Salam, B. 1988. Filsafat Manusia (Antropologi Metafisika). Jakarta : Bina Aksara
Salam, B. 2003. Pengantar Filsafat. Jakarta : Bina Aksara













ARTIKEL DALAM SATU LABEL



0 comments:

 
 
 
 
PIN BB 262A70A2